Antara atas dan alas. Terjaga dalam kondisi mata memerah dan muka yang tidak bersahabat bagi sebagian orang memang aneh dan tidak perlu rasanya dimabarkan lebih lanjut. Tetapi episode lain ini adalah prasasti gelisah yang tertanam dan membenalu.
Ditemani dengan segelas susu putih dan beberapa batang astor, bentuknya saja membuat kepala ini berputar, merangkuh kelelahan-kelelahan yang tidak diakui oleh tubuh ini. Satu-persatu dipingit dari pinggiran jalan malam dini hari.
Aku beranjak dari dunia yang satu ke dunia yang lain. Kesadaranku kini sedikit-demi sedikit telah mencapai fase yang lain. Kini genggaman dinginnya lembah ini menjadi lorong waktuku menuju dunia yang dulu aku pernah singgahi lama. Setelah berada di antara zona ini, aku mau bergerak dan terus bergerak, semakin cepat berpindah dan pergi. Ini langkah hidupku, biar cukup aku yang tentukan sendiri. Ternyata memang berharap pada keheningan, tidak berdaya. Sekarang coba menerobos lorong waktu psikologiku ini meraih apa-apa yang sebenarny terpatri jelas di sanubariku ini. Cuma aku yang mengerti tujuan dan kelak-kelok jalanku. Tidak juga engkau, keheningan, yang belum mengerti hitam & putih di tubuhku. Tidak mengerti kegelapan macam apa yang kini di otakku. Tidak juga mengerti dimana dan kapan hilang. Jika lepas, lepaslah.
Seharusnya sudah sejak lama aku menyadari awan kelambutan yang selalu menyertai derap gelombang anak muda ini. Dua orang itu selalu menyapaku di dalam gerbang mimpi. Mereka mem”posting” Cinta & Sayang yang selalu aku terima. Ditransfusikan rongga-rongga nafas dan tulang berselimut daging, baju ini. Doa mereka mungkin lebih dari segalanya. Yang terdalam, tak tertandingi. Rasanya tidak ada yang lebih dari ini. Aku harusnya lebih tahu, selayaknya untuk sudah lebih tahu. Dua dengan Cinta & Sayang. Aku tidak harus memilih, tentu ini hak prerogatifku. Dan, dalam diam yang kubangun ini aku bersyukur.
Distribusi Cinta & Sayang ini aku terima di atas bantal, di atas mimpi yang terurai. Kususun dan kubangun untuknya Istana Kerinduan tertinggi antara aku dan mereka berdua. Kurajut di keheningan dimana jangkrikpun lelah meringkik dengan suara khasnya itu.
Kepada Pengirim rindu-rindu dan Doa-doa SUCI,
Di air mata yang bening dan senyum yang dalam yang menyertainya,
Ditemani sang kekasih hidup, dia atas kursi roda, hatinya sekeras baja, panutanku.
Ini catatanku, bukan untuk mengundang senyum atau kerutan kening. Aku penyair yang tersesat di perilaku yang bukan diriku.